0 Comments


Jakarta, –

Indonesia berpotensi menduduki peringkat ketiga sebagai penghasil timah terbesar global, namun ironisnya, kami tidak memiliki kontrol atas penentuan harga pasarnya. Ini merupakan fokus pokok dari Rencana Diskusi Bersama (RDB) antara PT Timah Tbk, entitas induk pertambangan MIND ID, dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta pada hari Rabu tanggal 14 Mei 2025 lalu.

Dalam pimpinan Ketua Komisi VI DPR RI, Anggia Erma Rini, pertemuan ini membahas masalah-masalah tradisional tetapi penting terkait industri timah di Indonesia yaitu ketidakmampuan dalam mengatur manajemen dan peraturannya dengan baik. Permasalahan tersebut mencakup kontrol harga yang ditentukan pasar global, penambangan tanpa izin yang semakin meningkat, serta potensi kerugian bagi negara karena adanya praktik penyelundupan dan kurangnya pengawasan.

“Bijinya adalah emas putih yang dicari oleh dunia. Namun, manajemennya belum terorganisir dengan baik. Hal ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga citra negara,” jelas Anggia tegas.

Menjabat sebagai pemimpin utama dalam pengaturan komoditas timah nasional, Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, menggarisbawahi bahwa mereka sudah menerapkan sejumlah tindakan guna memerangi pertambangan liar yang marak di area konvensi perusahaannya.

“Kami sudah mengeluarkan para penambang illegal, mendekati kapal-kapal sembarangan dan meruntuhkannya dengan pendekatan persuasif sampai pada akhirnya harus melibatkan pihak berwajib. Namun, tanpa adanya aturan yang solid untuk mendukung usaha ini, segala pekerjaan kita hanya akan sia-sia,” jelas Restu kepada anggota dewan.

Menurut dia, tindakan penambangan illegal tidak saja merugikan performa perusahaan, tetapi juga meningkatkan ancaman terhadap aspek lingkungan dan sosial di wilayah kerja mereka, misalnya di Bangka Belitung.

Beberapa anggota Komisi VI DPR RI setuju bahwa hanya menggunakan pendekatan represif saja tidak mencukupi. Wakil Ketua Komisi VI, Nurdin Halid, mengusulkan ide baru yaitu dengan membentuk kerjasama formal melalui koperasi yang didasarkan pada komunitas lokal bagi para penambang tradisional.

“Cukong pertambangan adalah musuh terbesar. Sebaliknya, para penambang skala kecil seharusnya kita dampingi dan dukung. Coba bayangkan bila mereka bergabung membentuk koopertif ‘Timah Merah Putih’ yang berkolaborasi dengan PT Timah. Produksi mereka akan langsung diserap oleh perusahaan, bukannya diambil tengkulak. Inilah solusi saling menguntungkan,” papar Nurdin.

Firnando, seorang anggota Komisi VI lainnya, setuju dengan gagasan tersebut dan berpendapat bahwa aspek lingkungan tidak boleh diabaikan.

“PETI (Penambangan Tanpa Izin) bukan cuma masalah perekonomian ilegal, melainkan juga dampak lingkungan negatif. Kami membutuhkan solusi bijaksana supaya orang masih dapat melakukan penambangan namun secara sah, aman, serta tanpa mengganggu kelestarian alam,” ungkapnya.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini mencerminkan komitmen bersama dari seluruh pihak dalam upaya mengakhiri sistem perdagangan timah yang terfragmentasi. PT Timah sangat memerlukan dukungan kebijakan yang solid, sedangkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu merancang program yang akan memberikan manfaat bagi negara tanpa meninggalkan masyarakat luas di belakang.

Karena sebenarnya, timah tidak hanya merupakan sumber daya alam. Ini adalah lambang kemandirian ekonomi yang harus berada dalam genggaman kita. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts