,
Jakarta
Pakar militer dari Lembaga Lesperssi Beni Sukadis mengecam tindakan TNI (Tentara Nasional Indonesia).
TNI
yang terlibat dalam penjagaan lembaga tersebut
kejaksaan
Partisipasi tersebut dianggap mungkin melanggar asas-asas utama dari reformasi sektor keamanan serta memberi kesempatan untuk militarisasi dalam pelaksanaan hukum sipil.
“Tugas utama TNI menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 adalah mengamankan kedaulatan, memelihara integritas wilayah, serta melindungi seluruh rakyat dari ancaman militer. Diluar tugas tersebut, partisipasi TNI baru bisa dilakukan lewat proses Operasi Militer di Luar Perang (OMLP) dan hal ini perlu didukung oleh kebijakan politik nasional semacam instruksi presiden,” jelas Beni saat ditemui
Tempo
, Senin, 12 Mei 2025.
Perlindungan bagi lembaga kejaksaan berdasarkan surat perintah dari Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang ditandai tanggal 5 Mei 2025. Surat ini memerlukan bantuan TNI untuk menjamin lancarnya serta keselamatan dalam menjalankan kewajiban kejaksaan, termasuk di lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) ataupun Kejaksaan Negeri (Kejari), merata seantero tanah air Indonesia.
Telegram dari Panglima TNI diikuti oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), yaitu Marsekal Berdarah Maruli Simanjuntak dengan mengirimkan surat ke Pangdam. Dokumen tersebut mencakup salinan telegram yang dikirim oleh KSAD dan telah diamati oleh pihak terkait.
Tempo
Terjadwal pada tanggal 6 Mei 2025 menggambarkan rancangan penempatan satu Satuan Setingkat Peleton (SST), yang berarti kurang lebih 30 anggota ditempatkan di Kantor Kejaksaan Tinggi. Selanjutnya, sebuah tim dengan jumlah sekitar 10 orang akan didistribusikan ke Kantor Kejaksaan Negeri.
Ingatkan saya akan hal ini: partisipasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam tugas-tugas kejaksaan tanpa adanya landasan hukum serta pengawasan yang memadai dapat menimbulkan dampak negatif serius untuk demokrasi. Menurutnya, situasi seperti itu memiliki potensi merenggangkan pintu bagi kembalinya fungsi ganda militer dengan cara menyamar. Kami telah menjalani periode di mana militer sangat mendominasi ranah sipil dan sistem perundangan – suatu era yang kami harap bisa menjadi bagian dari sejarah setelah reformasi tahun 1998 tersebut.
Menurut dia, adanya pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan instansi kejaksaan mungkin akan menyebabkan overlaping wewenang antara TNI dan Polisi Republik Indonesia (POLRI). Secara legalitas, POLRI memiliki tanggung jawab atas keamanan domestik serta perlindungan terhadap aset-aset penting negara. Dia berpendapat bahwa melibatkan kedua badan militer ini pada satu hal serupa dapat menciptakan kerancuan sistematik, atau bahkan perselisihan langsung di tempat kejadian.
Dalam konteks perbaikan sektor keamanan, partisipasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam urusan sipil seperti itu dianggap sebagai kemunduran. Salah satu poin penting dari reformasi adalah mengekang militer agar fokus hanya pada aspek pertahanan. Jika aturan tersebut dilanggar, ada risiko merusak prinsip kedaulatan sipil terhadap militer, demikian kata Beni.
Dia mendesak bahwa semua jenis dukungan militer kepada institusi kepolisian sipil harus dilakukan sesuai dengan undang-undang yang jelas dan dipantau secara cermat untuk mencegah penyimpangan dari tujuan reformasi.
Saat ini, Kejaksaan Agung menyangkal klaim dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menganggap bahwa penempatan pasukan TNI dalam area Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri bisa meningkatkan campur tangan militer ke bidang non-militer, terutama pada aspek pengawasan hukum.
Intervensi apa ini? Mereka hanya bertanggung jawab untuk mengamankan kantor saja,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar ketika dimintai komentar Minggu, 11 Mei 2025. “Hal itu tidak berhubungan dengan proses kasus.
Daniel A. Fajri
ikut serta dalam penyusunan artikel ini