.CO.ID – JAKARTA.
Pada suatu sesi panel animasi di Hong Kong Filmart pada bulan Maret silam, film animasi China Nezha 2 menjadi fokus utama acara tersebut. Sementara itu, tak jauh dari tempat itu, Mia Angelia Santosa, yang menjabat sebagai Kepala Staf dari Grup Visinema Indonesia, secara modest mempromosikan Jumbo, yaitu sebuah film animasi terbaru yang belum diluncurkan saat itu.
Dikutip dari
Deadline
Dengan terbuka, dia menyatakan, “Kami hanya mengerjakan satu film animasi setiap beberapa tahun. Oleh karena itu, kami memang masih belum yakin tentang keberadaan pasar untuk ‘Jumbo’.”
Sekarang, baru dua bulan sejak diluncurkannya pada tanggal 31 Maret, Jumbo telah menunjukkan dirinya sebagai monumen besar yang bangkit dari kediamannya yang lama.
Kinerja Luar Biasa: Film Animasi Paling Laris di Asia Tenggara
Sampai tanggal 13 Mei, film “Jumbo” telah menyaksikan 9.474.665 penonton dan meraih pendapatan dalam negeri senilai US$23,7 juta. Ini menjadikannya sebagai film berbahasa Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak ketiga sepanjang masa — posisi yang ditempatinya setelah “Avengers: Endgame” dan “KKN di Desa Penari”.
Bukan hanya itu saja, film animasi Jumbo kini telah menyandang gelar sebagai film animasi dari ASEAN yang paling laris sepanjang waktu, melewati rekornya milik Mechamato Movie asal Malaysia dengan pendapatan US$7,68 juta. Di Indonesia sendiri, Jumbo juga menempatkan dirinya sebagai film animasi favorit penonton, bahkan berhasil melampaui popularitas Frozen 2 dan Moana 2.
Produksi Nasional, Standart Internasional: Mulai dari Dana Terbatas hingga Keajaiban Layar Lebar
Dengan anggaran kurang dari US$3 juta serta melibatkan lebih dari 420 seniman lokal, film “Jumbo” menceritakan tentang Don, seorang anak tanpa orang tua yang memiliki tubuh besar dan diberi julukan “Jumbo”, dia juga merupakan sasaran bully.
Pada suatu hari, dia menemukan sebuah buku cerita warisan orangtuanya yang mengantarkannya bertemu dengan Meri, seorang peri kecil yang memohon pertolongannya agar bisa bersua dengan keluarganya lagi.
Film ini dianugerahi suara oleh berbagai bakat Indonesia seperti Prince Poetiray, Muhammad Adhiyat, Ariel, Graciella Abigail, Yusuf Ozkan, dan Quinn Salman.
Misi dan Pertempuran: enam Tahung Menyusun Kepercayaan Sektor Usaha
Santosa menyatakan bahwa konsep Jumbo muncul berdasarkan kekhawatirannya atas kurangnya materi lokal yang sesuai untuk anak-anak dan keluarga. ” Kami sering merasakan adanya kesempatan, namun hambatan utamanya adalah memperkuat keyakinan pada bisnis perfilman,” ungkapnya.
Anggia Kharisma, co-founder dari Visinema, mengatakan bahwa hanya 0,7% isi buatan Indonesia yang sesuai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga, sebagaimana terlihat dalam data yang telah mereka himpun.
Visinema kemudian mendirikan Visinemastudios, yang merupakan bagian terpisah fokusnya adalah pada konten anak-anak dan keluarga. Pada saat itu, Ryan Adriandhy baru saja menuntaskan pendidikannya dalam program pascasarjana di Rochester Institute of Technology, lalu ia dengan cepat ikut serta setelah mengamati peluang dari Jumbo.
Bakat Lokal Berstandart Global, Tetapi Kurang Dapat dukungan
Adriandhy menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak bakat dalam bidang animasi yang berperingkat internasional, tetapi mereka kebanyakan hanya menjadi pemberi layanan untuk projek luar negeri akibar minimnya pendanaan untuk menghasilkan ide original sendiri.
“Sebelum Jumbo disetujui, kami tiga orang—yaitu saya, Anggia, dan Mia—mengelilingi pulau Jawa guna menemukan studio-studio independen,” tuturnya. “Ada begitu banyak talenta terpendam yang masih perlu ditemukan.”
Strategi: Ukuran dan Narasi Seperti Film Besar Hollywood
Pengalaman Visinema pada proyek seperti Nussa (2021) telah menjadi langkah besar bagi perusahaan tersebut. Menurut Santosa, untuk memastikan keberhasilan animasi di pasaran lokal, skala produksinya seharusnya dapat bersanding dengan film-film Hollywood. Ini yang mendorong tim kerja ketika merancang Jumbo.
Anggia menggambarkan “Jumbo” sebagai film yang cocok untuk berbagai kalangan umur, tak hanya bagi anak-anak tetapi juga bagi “anak di dalam diri kita masing-masing.” Dia pun tidak menutup peluang akan ada lanjutan ceritanya.
Pengalaman Nonton Film di Bioskop yang tak Terlupakan
Faktor kunci keberhasilan Jumbo adalah kemampuannya menciptakan pengalaman menonton bersama keluarga yang menyenangkan dan mudah dikenang.
Anak-anak dapat memahami alur ceritanya, bernyanyi seirama dengan lagu-lagunya, serta berharap untuk menonton kembali. Inilah yang membuat jumlah penonton berulang cukup tinggi,” ungkap Santosa. “Rasa cinta terhadap konten lokal sangat kuat. Meskipun orang mungkin rela menanti sebuah film tayang di layanan streaming, namun sensasi nonton di bioskop bersama keluarga tetap tak ternilai.
Santosa percaya bahwa keberhasilan Jumbo akan mempermudah jalannya untuk produksi lebih banyak film animasi di Indonesia. ” Industri kini memiliki standar baru. Sekarang, para produser lain dapat mengambil contoh Jumbo sebagai bukti adanya pasaran yang potensial.”
Dia mengakhiri dengan optimis: “Prioritas utama kita adalah meninggikan derajat industri animasi di Indonesia serta menyediakan berbagai macam opsi hiburan untuk audiens dalam negeri — entah itu film live action atau animasi. Mudah-mudahan Jumbo bisa menjadi sumber inspirasi dan langkah awal yang baik bagi generasi mendatang.”