.CO.ID – JAKARTA
Gelombang pemecatan kerja semakin menimbulkan kecemasan di beberapa bidang industri dalam negeri.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menjelaskan bahwa ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), yang awalnya banyak menjangkiti industri berbasis tenaga kerja seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki, kini semakin merambah ke bidang-bidang lain termasuk elektronika, otomotif, media, ritel, dan sejenisnya.
“Keadaan ini bukan hanya terjadi di dalam negeri saja, tetapi beberapa negara lain pun mengalaminya. Fenomena tersebut disebabkan oleh penurunan kemampuan pembelian masyarakat secara global; salah satunya dikarenakan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bisnis mereka sedang lesu, yang menyebabkan penghasilan menjadi sangat berkurang hingga pada titik tanpa pendapatan sama sekali,” ungkapnya saat ditemui oleh , Rabu (14/5).
Ristadi menyatakan bahwa salah satu efek samping adalah disebabkan oleh berbagai pertikaian perang yang terjadi secara global. Dia menambahkan, orang cenderung lebih memilih untuk menghabiskan uang mereka pada keperluan pokok seperti makanan.
“Secara keseluruhan dampak tersebut pada akhirnya menyebabkan penurunan dalam jumlah pesanan yang masuk ke sektor industri. Menurut pandangan saya, efisiensi anggaran industri cenderung tidak akan memberi dampak besar karena tidak akan memperkecil biaya dasar produksi secara signifikan dan masih belum bisa bersaing dengan harga produk impor, terlebih lagi dari Cina,” jelasnya.
Selain itu, Ristadi menyebutkan bahwa data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disampaikan oleh beberapa pihak sering kali bertentangan. Sebagai contoh, angka PHK versi pemerintah terlihat lebih rendah karena mereka belum melakukan pengecekan mendalam dan luas kepada semua perusahaan di Indonesia. Menurutnya, pemerintah kurang aktif dalam hal ini.
“Alasannya yang kedua, banyak perusahaan memilih untuk tidak melaporkan pemutusan hubungan kerja sebenarnya,” jelasnya.
Selanjutnya, Ristadi menyebutkan bahwa untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK), keberadaan industri perlu dijamin dan dipelihara. Hal ini dapat dicapai dengan melindungi pasar lokal dari invasi produk impor yang memiliki harga jauh lebih rendah.
Selanjutnya, diperlukan pula adanya peningkatan dalam teknologi sektor industri, insentif pajak, harga energi yang kompetitif, serta hal-hal lainnya.
Dengan begitu, harapannya adalah industri dapat bertahan dan malah tumbuh sehingga mampu menyerap lebih banyak pekerja baru. Upaya ini didorong dengan meningkatkan investasi di berbagai sektor industri guna memperluas penyerapan tenaga kerja baru, tambahnya.
Perlu dicatat bahwa menurut data dari KSPN, total jumlah pemutusan hubungan kerja yang telah terjadi di seluruh sektor antara Januari dan awal Maret tahun 2025 adalah sebanyak 61.356 orang.
Sektor sebelumnya, Apindo mengungkapkan bahwa dari tanggal 1 Januari sampai dengan 10 Maret tahun 2025, ada 73.992 orang yang meninggalkan program keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), serta lebih dari 40.683 individu di antara mereka sudah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT).
Hasil riset Apindo yang dijalankan kepada 350 perusahaan anggotanya dari tanggal 17 hingga 21 Maret 2025 menunjukkan bahwa penyebab pokok pemutusan hubungan kerja adalah berkurangnya permintaan (sebesar 69,4%) dan meningkatnya harga bahan baku (menjadi 43,3%).
Berikut ini, alasan utamanya adalah perubahan dalam aturan tenaga kerja khususnya yang berkaitan dengan gaji minimal (33,2%), persaingan dari barang-barang impor (21,4%), dan juga efek dari penerapan teknologi dan otonomi mesin (20,9%).